Dengan berkembangnya kebutuhan akan keamanan pemakaian obat, timbul pergeseran paradigma pelayanan Farmasi yang telah berkembang sejak tahun 90 an di Amerika Serikat yang kini telah diikuti oleh banyak Negara di dunia, termasuk Asia. Paradigma tadi adalah pelayanan farmasi yang dulu berorientasi kepada produk bergeser menjadi berorientasi kepada penderita. Konsep ini dinamakan Pharmaceutical Care.
Dalam praktek, konsep ini ditandai diantaranya oleh :
- Apoteker terlibat langsung dalam pelayanan Farmasi
- Fokus kepada Penderita, bukan hanya kepada produknya
- Ada interaksi langsung antara Apoteker dengan Penderita
- Apoteker memastikan bahwa terapi obat sesuai indikasi, efektif, aman.
- Apoteker memperhatikan peningkatan kualitas hidup penderita
- Apoteker berupaya dan memperhatikan outcome yang pasti dari terapi
- Semua proses harus terdokumentasi
- Mengidentifikasi, mencegah dan memonitor masalah terapi obat (DTP= Drug Therapy Problems)
Dalam mengimplementasikan konsep Pharmaceutical Care, Apoteker mempunyai tanggung jawab sebagai berikut :
- Memastikan bahwa terapi obat penderita sesuai indikasi, paling efektif, paling aman, dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan
- Mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah masalah terapi obat yang akan mengganggu
- Memastikan bahwa tujuan terapi penderita tercapai dan hasil yang optimal terealisasi.
Masalah terapi obat adalah hal-hal berikut ini :
1. Indikasi yan tidak tepat
a. Membutuhkan tambahan terapi obat
b. Tidak memerlukan terapi obat
2. Terapi obat yang tidak efektif
a. Minum obat yang salah
b. Minum obat dengan dosis terlalu kecil
3. Terapi obat tidak aman
4. Minum obat dengan dosis terlalu besar
5. Mengalami adverse drug reaction: alergi, idiosinkrasi, toksisitas, interaksi obat, makanan
6. Tidak taat minum obat
Masalah Interaksi OAT
Salah satu masalah terapi obat OAT yang cukup penting adalah interaksi obat. Interaksi obat dengan OAT dapat menyebabkan perubahan konsentrasi dari obat-obat yang diminum bersamaan dengan OAT tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan toksisitas atau berkurangnya efikasi dari obat tersebut. Secara relatif hanya sedikit interaksi yang mempengaruhi konsentrasi OAT.
Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi: diantaranya : protease inhibitor, antibiotika makrolid, levotiroksin , noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin, teofilin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan beberapa obat lainnya.
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Efek rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin.
Masalah Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek-samping, oleh karena itu pemantuan kemungkinan terjadinya efek-samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Walaupun sudah diuraikan diposting sebelumnya, namun berikut ini dikutipkan beberapa efek samping yang sering muncul dan cara mengatasinya.
Berdasarkan derajat keseriusannya, efek samping OAT dibagi menjadi:
- Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik.
- Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak.
Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat diteruskan.
Dibawah ini akan dijelaskan efek samping masing-masing jenis OAT :
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian, keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15 - 25 mg/Kg BB per hari atau 30 mg/Kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Setiap penderita yang menerima Etambutol harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler sulit dideteksi pada anak-anak, maka Etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak.
Isoniazid (INH)
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-tanda hepatitis-nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik.
Efek samping INH yang ringan dapat berupa:
- Tanda tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6 dengan dosis 5 - 10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks)
- Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (syndroma pellagra)
- Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.
Pirazinamid
Efek samping utama dari penggunaan Pirazinamid adalah hepatitis. Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
Rifampisin
Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang menyebabkan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari Rifampisin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang terjadi. Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersamaan akan meningkatkan risiko terjadinya hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan. Bila hepatitisnya sudah hilang/sembuh pemberian Rifampisin dapat diulang lagi.
Efek samping Rifampisin yang berat tapi jarang terjadi adalah :
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok). Penderita ini perlu dirujuk ke UPK spesialistik karena memerlukan perawatan darurat.
- Purpura, anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang. Sebaiknya segera dirujuk ke UPK spesialistik.
Efek samping Rifampisin yang ringan adalah:
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
- Sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang
- Sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah, kadang-kadang diare.
Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
Streptomisin
Efek samping utama dari Streptomisin adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik. Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi dengan 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.
Beberapa efek samping ringan dengan kemungkinan penyebab dan penanganannya disampaikan dalam tabel berikut :
Beberapa efek samping berat dengan kemungkinan penyebab dan penanganannya disampaikan dalam tabel berikut :